• Depan
  • › Kategori: Artikel
  • › IDENTIFIKASI BIOFISIK LAUT PASIR TENGGER

IDENTIFIKASI BIOFISIK LAUT PASIR TENGGER

Kawasan Bromo Tengger Semeru ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan keputusan Menteri Kehutanan No. SK.178/Menhut-II/2005 29 Juni 2005 tentang penetapan kawasan TN. Bromo Tengger Semeru, antara lain karena memiliki ekosistem unik berupa kaldera di dalam kaldera (creater in creater) berupa gunung berapi aktif (Gn. Bromo) di dalam kaldera Tengger dengan laut pasir di sekitanya. Keunikan ekosistem dan keindahan panorama alam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menjadikan kawasan ini salah satu daerah tujuan wisata andalan Jawa Timur, bahkan nasional. Kementerian Pariwisata bahkan menetapkan kawasan TNBTS sebagai Kawasan Strategis Parwisata Nasional (KSPN).  Permasalahan kemudian yang timbul adalah perkembangan kondisi fisik TNBTS yang mulai menunjukan tanda-tanda terganggu dan kerusakan lingkungan akibat dari akumulasi tingginya aktifitas wisata maupun masyarakat lokal. Indikasi yang tampak kasat mata adalah kebakaran lahan pada musim kemarau, banjir dan timbulnya genangan dan patahan yang membentuk semacam alur sungai pada musim hujan. Kondisi yang disebutkan diatas merupakan gejala dari terjadinya kerusakan fungsi hidrologis permukaan dikawasan tersebut.

Dalam rangka mengidentifikasi kondisi biofisik Kaldera Gunung Bromo, khususnya yang terkait dengan faktor yang berpengaruh terhadap laju infiltrasi tanah yaitu morfologi tanah dan kepadatan tanah, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, bekerjasama dengan Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya melaksanakan kegiatan Identifikasi Biofisik Laut Pasir Kaldera Tengger. Identifikasi dilakukan di 5 lokasi di laut pasir yang dipilih berdasarkan pada lokasi yang masih alami dan yang diduga telah mengalami kerusakan akibat banyaknya kendaraan yang berlalu lalang atau kepadatan pengunjung wisata. Lokasi tersebut terbagi menjadi 5 lokasi yaitu: parkir Jeep di Bawah Bukit Kaki Jenggot/Teletubies, Pasir Berbisik, Di Bawah Tangga Gunung Bromo, Parkir Jeep di Dekat Gunung Batok serta di Jalan Sepeda Motor dan Jeep arah Wonokitri

Pengukuran infiltrasi menggunakan metode falling head dengan alat double ring infitrometer. Pada prinsipnya, laju infiltrasi atau masuknya air dalam tanah ditentukan dengan mengamati berapa penurunan permukaan air dalam ring infiltrometer selama kurang lebih 1 hingga 2 jam pengamatan. Nilai penurunan air konstan yang didapatkan pada akhir pengamatan selanjutnya digunakan sebagai nilai infiltrasi konstan dengan satuan cm per jam. Dalam penelitian ini, pengukuran infiltrasi diulang sebanyak 3 (tiga) kali pada tiap lokasi pengamatan, sehingga terdapat pengukuran infiltrasi sebanyak 15 kali. 

Jenis Penggunaan Lahan di lokasi penelitian tidak begitu bervariasi dan cenderung didominasi oleh hamparan pasir vulkanik yang meluas dibagian kaldera. Berdasarkan analsis penggunaan lahan dengan memanfaatkan citra beresolusi tinggi (google earth) maka identifikasi mendapatkan beberapa macam penggunaan lahan. Pertama adalah hamparan pasir vulkanik yang tersebar di bagian kaldera dan lereng-lereng gunung yang tidak sempat ditumbuhi tumbuhan karena adanya material baru yang tertimbun terus-menerus. Kedua adalah rumput dan  semak-semak yang terdapat di kaki-kaki gunung dan bagian bawah kaldera. Ketiga adalah Belukar dan Cemara Gunung yang tersebar tidak merata di seluruh kawasan lautan pasir.

Pada spesifik lokasi penelitian terdapat beberapa variasi jenis penggunaan lahan yaitu: (1) Semak dan Lautan Pasir di titik pertama (Bukit Teletubies), (2) Lautan Pasir di lokasi kedua (Pasir Berbisik), (3) Semak dan  Lautan Pasir di titik ketiga (Bawah Tangga Bromo), (4) Lautan Pasir (Parkir Jeep) dan (5) Semak dan Lautan Pasir (Wonokitri). Horizon tanah belum terbentuk pada profil-profil tanah di Laut Pasir Gunung Tengger sehingga dapat disimpulkan bahwa proses pedogenesis belum banyak memberikan dampak terhadap perkembangan tanah di lokasi tersebut. Tanah masih melalui tahap geogenesis berupa penambahan dan pelapukan mineral primer. Lapisan-lapisan bahan induk tanah memenuhi hampir di semuaprofil tanah.  

Di profil Bawah Bukit Teletubies susunan horizon adalah C1, C2, C3 dst yang memiliki tebal antara 5-10 cm dan terdiri dari abu, pasir dan pumice yang berselang seling. Erupsi Gunung Bromo tampaknya tidak banyak memberikan dampak terhadap proses geogenesis pada saat ini. Hal ini dikarenakan arah angin menerbangkan material menuju lokasi Pasir Berbisik, Bawah Tangga Bromo dan Parkir Jeep, ketebalan horizon pada lokasi ini lebih tebal jika dibandingkan dengan lokasi lainnya. Profil tanah lokasi Pasir Berbisik masih relatif alami karena tidak diganggu oleh aktivitas manusia dan jeep/kendaraan lain. Secara umum lapisan yang terbentuk mempunyai kode C1-C2-C3 dst. Tanah terdiri dari selang seling Pasir, Abu dan kerikil pumice. 

Profil tanah lokasi Bawah Tangga Bromo sudah banyak mengalami gangguan (tidak sepenuhnya alami) akibat aktivitas manusia (wisatawan) terutama karena berada di jalur menuju kawah Gunung Bromo. Secara umum lapisan yang terbentuk mempunyai kode C1-C2-C3 dst. Tanah terdiri dari selang seling Pasir, Abu dan kerikil pumice. Kisaran taksonomi tanah di lokasi ini sangat beragam hanya pada beberapa meter. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh sebaran material piroklastik yang tidak merata juga topografi yang bergelombang. 

Profil tanah lokasi Parkir Jeep sudah tidak alami karena telah diganggu oleh aktivitas kendaraan Jeep. Tanah relatif padat, dan hanya pada lapisan atas berbeda dengan lapisan yang lain. Lapisan paling atas, ketika digali sangat padat, namun antar partikel tidak terdapat daya ikat satu sama lain. Secara umum lapisan yang terbentuk mempunyai kode C1-C2-C3 dst. Tanah terdiri dari selang seling Pasir, Abu dan kerikil pumice. Pada lokasi ini ditemukan beberapa batuan vulkanik berukuran besar namun jumlahnya tidak banyak di dalam profil tanah. Profil tanah lokasi Jalan Jeep dekat Wonokitri sudah tidak alami karena telah diganggu oleh aktivitas kendaraan Jeep. Tanah relatif padat, dan hanya pada lapisan atas berbeda dengan lapisan yang lain. Lapisan paling atas, ketika digali sangat padat, namun antar partikel tidak terdapat daya ikat satu sama lain. Secara umum lapisan yang terbentuk mempunyai kode C1-C2-C3 dst. Terdapat lapisan setebal 5 cm pada kedalaman >15 cm yang terdiri dari pasir tersementasi membentuk agregat lempeng yang lebih pada dibandingkan dengan lapisan lainnya. 

Tanah-tanah yang terbentuk dari material vulkanik suatu Gunung Berapi umumnya adalah Andisols dan Entisols. Andisols adalah suatu tanah yang memiliki sifat tanah andic 60 % atau lebih tebal yang diukur pada kedalaman 0-60 cm atau tidak mencapai 60 cm jika terdapat kontak densic, lithic, or paralithic,duripan, atau horizon petrocalcic. Sedangkan Entisols adalah tanah yang belum mengalami perkembangan karena tertimbun oleh material baru di Kawasan Gunung Berapi. Limitasi dari kegiatan  ini adalah tidak dilakukan analisis sifat tanah andic sesuai dengan perjanjian kerja, sehingga klasifikasi tanah merupakan klasifikasi sementara .

Analisis ragam (Anova pada p<5%) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan laju infiltrasi konstan secara signifikan antar lokasi pengamatan. Pasir berbisik memiliki laju infiltrasi konstan 4 kali lebih tinggi (rata-rata 0.2 cm.jam-1) dibandingkan dengan lokasi lain yang hanya memiliki laju infiltrasi rata-rata sebesar 0.05 cm.jam-1. Adanya kegiatan wisata dalam kawasan Kaldera G. Bromo diperkirakan memiliki pengaruh terhadap rendahnya laju infiltrasi di Bukit Teletubies, Bawah Tangga Bromo, Parkiran Jeep (dekat gunung batok) dan Jalan jeep (Wonokitri). Lalu lintas kendaraan (Jeep dan Kuda) dan wisatawan yang terpusat pada lokasi-lokasi tersebut dicurigai menyebabkan pemadatan tanah, sebagai akibat dari menurunnya porositas tanah. Untuk membuktikan hal tersebut, maka dalam penelitian ini juga dilakukan pengukuran berat isi.

Berat isi (BI) dihitung dengan metode Gravimetri, dimana selisih antara berat basah dan berat kering oven contoh tanah dihitung untuk memperoleh data kadar air tanah (%). Data kadar air tanah ini kemudian digunakan dalam penentuan berat tanah per satuan volume/BI (g cm-3). Berat isi tanah diukur pada kedalaman 0-20cm dari permukaan tanah.Berat isi tanah dilokasi penelitian berkisar antara 1.3-1.46 g.cm-3, berat isi tertinggi terdapat pada lokasi Bukit Teletubies sedangkan paling rendah adalah di Pasir Berbisik.  Apabila dilihat dari data yang ada, lokasi-lokasi yang banyak mengalami gangguan akibat aktivitas wisata memiliki berat isi yang lebih tinggi. Namun demikian, belum bisa dipastikan sepenuhnya bahwa tingginya berat isi dilokasi wisata ini langsung berkaitan dengan gangguan-gangguan tersebut. Faktor-faktor lain seperti perbedaan bahan pembentuk lapisan tanah (ukuran pasir, batuan, dsb) serta lapisan sulfur juga perlu diperhitungkan dalam kaitannya dengan berat isi tanah. 

Cepat lambatnya air dapat masuk kedalam profil tanah (infiltrasi) sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah dipermukaan dan kondisi dibawah permukaan (Hillel, 1998). Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh sifat alami tanah itu sendiri seperti sifat morfologi tanah, tekstur, porositas, namun juga dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti pengelolaan lahan diatasnya. Adanya aktivitas manusia diatas permukaan tanah akan berpengaruh pada sifat tanah dibawahnya. Tingginya aktivitas manusia dalam penelitian ini, kaitannya dengan lalu lintas kendaraan (Jeep dan Kuda) serta wisatawan, dicurigai menyebabkan terjadinya pemadatan tanah sehingga laju infiltrasi tanah menurun. Data korelasi antara kepadatan tanah (dalam penelitian ini direpresentasikan oleh berat isi) memang menunjukkan adanya hubungan dengan laju infiltrasi. 

Berat isi tanah merupakan salah satu parameter yang dapat menjelaskan kondisi porositas tanah, semakin tinggi berat isi tanah maka ruang pori dalam tanah semakin sedikit. Semakin rendah porositas tanah menyebabkan laju masuknya air dalam tanah semakin lambat, hal ini berkaitan dengan terbatasnya jalan masuk bagi air untuk mengisi ruang pori dalam profil tanah (ruang pori dipermukaan tanah) serta sedikitnya ruang pori dalam tanah yang dapat diisi oleh air (tanah cepat jenuh). Namun demikian, nilai koefisien determinasi (R2) dari  hanya 0.5, artinya ada faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap laju infiltrasi tanah selain berat isi tanah, misalnya adalah perbedaan bahan-bahan yang menyusun profil tanah (tekstur, batuan) dan konfigurasinya serta tebal tipisnya lapisan yang sukar ditembus air dipermukaan maupun didalam tanah.

Dari hasil identifikasi Biofisik Laut Pasir diatas dapat disimpulkan bahwa Masing-masing lokasi pengamatan memiliki penampang profil tanah yang berbeda (bahan tiap lapisan tanah dan konfigurasinya), hal ini terkait dengan posisi relatif lokasi pengamatan tersebut terhadap G. Bromo dan juga intensitas gangguan dari aktivitas wisata yang ada. Terkait dengan Laju infiltrasi, diperoleh kesimpulan bahwa infiltrasi di Pasir Berbisik yang merupakan titik kontrol atau lokasi yag relatif masih alami 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain yang banyak mengalami gangguan (Pasir Berbisik, Bawah Tangga Bromo, Parkir Jeep dan Jalan Jeep arah  Wonokitri). Tingginya laju infiltrasi dilokasi ini dipengaruhi oleh tingginya porositas tanah yang ditandai dengan rendahnya berat isi tanah (R2=0.5). Namun demikian, kemungkinan faktor yang lain seperti bahan penyusun lapisan tanah (ukuran pasir, batuan, lapisan kedap air) serta konfigurasinya perlu juga diperhatikan dalam kaitannya dengan laju infiltrasi.